Selmat Datang


Selamat Datang di Web Tulisan Erwan Susandi, email erwansusandi#gmail.com.... Terima Kasih

Privatisasi (Tanggung Jawab) Negara

http://www.csrindonesia.com/#
10.May.2010

Belakangan ini Pemerintah kita semakin rajin membuat kejutan-kejutan, baik yang disebabkan oleh tingkah polah aparatnya maupun karena kebijakan-kebijakan yang semakin nyeleneh. Contohnya adalah penggodokan RUU Fakir Miskin yang sedang dilakukan oleh Komisi VIII DPR RI dan sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010. Lainnya, pembahasan draft Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Dukungan Pemerintah Daerah dalam Pembentukan Forum Kemitraan Pemerintah, Dunia Usaha dan Masyarakat dan Penetapan Rencana Strategis Tanggung Jawab Sosial Perusahaan yang sedang dilakukan oleh Direktorat Jendral Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (Dirjen PMD), Kementerian Dalam Negeri. Jauh sebelum itu telah muncul UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang dalam Pasal 74-nya menyatakan kewajiban untuk melakukan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) oleh perusahaan serta UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yang di dalam salah satu pasalnya juga menyebutkan tentang kewajiban untuk melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Walau tidak secara terang-terangan, jelas dari logika yang disampaikan para pengusungnya bahwa semua kebijakan dan peraturan tersebut memiliki pandangan yang sama: soal tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR adalah soal peluang mengumpulkan dan mengelola dana perusahaan.

Di balik jargon ingin mensejahterakan rakyat, mengentaskan kemiskinan, dan berbagai cita-cita lainnya yang mahamulia dan mahapenting, ada satu pertanyaan krusial dari sudut pandang masa depan penyelenggaraan CSR di Indonesia yang sedikit banyak cukup memiriskan hati: Adakah kecenderungan melemparkan tanggung jawab penyediaan dana dan pengelolaan program pengentasan kemiskinan kepada dunia usaha? Atau dalam bahasa lainnya: Apakah ini sebagai bentuk privatisasi tanggung jawab negara? Tentu jawaban Pemerintah: Tidak! Hanya saja indikasi ke arah itu terlalu kuat dan terlalu gampang ditemukan dalam alinea-alinea naskah akademik dan draft RUU Fakir Miskin serta isi rancangan Permendagri di atas.

Dalam draf RUU Fakir Miskin Bab XI Pasal 36 ayat 3 disebutkan: “Dunia usaha mempunyai kewajiban menyediakan dana pengembangan masyarakat sebagai perwujudan dari tanggung jawab sosial terhadap penanganan fakir miskin”. Padahal UUD negara ini jelas menegaskan bahwa: “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”; ”Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”; ”Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan pelayanan umum”. (Pasal 34 ayat 1,2 dan 3, UUD 1945).

Setali tiga uang, Permendagri yang saat ini sedang disiapkan juga mengatur pembentukan forum kemitraan sebagai wadah yang menjembatani dunia usaha, pemerintah dan masyarakat dalam pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan. Pemerintah juga sangat jelas maunya, lebih memosisikan diri sebagai pengawas dan penerima laporan. Kalau demikian halnya, apakah ini sebagai pertanda bahwa Pemerintah kita sudah tidak mampu lagi untuk mengurus negara ini dengan segala permasalahannya—sehingga kewajiban-kewajiban yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara perlu diserahkan kepada pihak lain, khususnya dunia usaha, yang ujung-ujungnya juga membebani dunia usaha di luar yang seharusnya?

Apapun alasannya, tidak dapat dibenarkan kalau kemudian Pemerintah demikian mudah melemparkan tanggung jawab kepada pihak lainnya. Karena amanat UUD kita dengan tegas menyebutkan bahwa negeri ini lebih dekat memosisikan diri sebagai welfare state. Lagipula, CSR itu adalah tanggung jawab yang terbatas kepada pemangku kepentingan, bukan kepada seluruh masyarakat. Jelas di sini Pemerintah tak paham apa itu CSR, sehingga menyempitkan maknanya sekadar sebagai dana tambahan di luar pajak yang bisa diminta seenaknya.

Seharusnya, ketimbang membuat RUU dengan titik tekan yang cenderung melempar tanggung jawab, negara membenahi terlebih dahulu berbagai kebijakan lainnya yang—menurut banyak pengamat—merugikan negara dan rakyat karena kelewat ‘liberal’. Sebut saja UU Migas, UU Minerba, UU Ketenagalistrikan, UU Sumberdaya Air dan sederet peraturan turunannya, yang justru berpotensi menghilangkan penerimaan negara sampai puluhan triliun per tahun. Di sisi lain, sebaiknya Pemerintah juga semakin progresif membenahi aparat birokrasi, mengoptimalkan penerimaan negara dari sumber-sumber yang legal sesuai kerangka hukum yang sudah ada, mengefisienkan pengelolaan keuangan negara, konsisten melakukan pemberantasan korupsi dan optimalisasi pengelolaan sumberdaya alam agar lebih baik. Kalau itu semua dapat dilakukan dengan baik oleh pemerintah, niscaya Pemerintah tidak perlu lagi melakukan privatisasi tanggung jawab yang jelas-jelas memang menjadi kewajibannya.